Pemerintah Dinilai Turut Membuka Celah dan Merawat Politisasi Polri

Isu Politisasi Polri dalam Konteks Dinamika Politik Nasional

Pemerintah Dinilai Turut Membuka Celah dan Merawat Politisasi Polri
Pemerintah Dinilai Turut Membuka Celah dan Merawat Politisasi Polri

Isu mengenai dugaan politisasi Polri yang semakin mencuat dalam perpolitikan nasional, terutama pada ajang

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, telah membuat lembaga ini mendapat sorotan publik. Keterlibatan Polri dalam praktik politik praktis sering dianggap terkait dengan lemahnya pengawasan negara dan kontrol legislatif. Banyak yang beranggapan bahwa pemerintah turut berperan besar dalam memelihara fenomena ini.

Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyatakan bahwa politisasi

Polri bukanlah hal baru, melainkan sudah berkembang sejak Pemilu langsung pertama pada 2004.

Pengaruh Polri sebagai instrumen politik semakin terlihat dalam setiap Pemilu, terutama pada 2019 dan 2024.

Bambang mengatakan, “Terdapat hegemoni rezim yang berusaha membuat Polri secara tidak langsung tunduk kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah,” seperti yang disampaikan dalam wawancara dengan    vipbusinessnews.com pada Minggu (1/12/2024).

Ia menambahkan bahwa ada pola yang dilakukan oleh penguasa untuk membuat Polri tunduk.

Salah satu caranya adalah dengan menempatkan personel aktif Polri di posisi-posisi pemerintahan di

luar struktur Polri itu sendiri. Praktik ini dianggap sebagai sarana untuk mempertahankan kendali atas lembaga tersebut. Dengan lebih dari 450.000

personel yang tersebar di seluruh Indonesia, Polri memiliki potensi besar dalam politik, termasuk memengaruhi hasil Pemilu.

Bambang menjelaskan, “Dengan kewenangan yang dimiliki sebagai penegak hukum, Polri menjadi alat yang sangat efektif untuk menekan pihak-pihak politik lawan.”

Ia mencontohkan penggunaan “mesin kepolisian” sejak Pemilu langsung 2004, dan semakin terstruktur pada Pemilu 2019 melalui Satgas Merah Putih yang dinilai cukup efektif.

Pola serupa juga terulang pada Pemilu 2024.

Melihat hal ini, Bambang mengusulkan agar hubungan antara Polri dan kekuasaan politik dibatasi.

Salah satu cara yang dianggap efektif adalah dengan menempatkan Polri di bawah kementerian, seperti yang diterapkan di beberapa negara maju.

“Polri seharusnya menjadi lembaga operasional yang terpisah dari lembaga yang bertugas menyusun anggaran atau peraturan,” kata Bambang.

Selain itu, Bambang juga menyarankan penguatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melalui undang-undang khusus, agar

Kompolnas dapat berfungsi lebih maksimal dalam mengawasi Polri dan memastikan lembaga tersebut tetap netral.

Dugaan politisasi Polri dalam Pilkada 2024 sempat dibahas oleh sejumlah politisi dari PDI-Perjuangan.

Bahkan, Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevri Sitorus, mengusulkan agar Polri ditempatkan di bawah kementerian atau TNI untuk meminimalkan potensi politisasi.

Deddy berpendapat bahwa kekalahan PDI-P di beberapa daerah pada Pilkada Serentak 2024 dipengaruhi oleh

keterlibatan aparat kepolisian atau yang sering disebut “parcok” (partai coklat).

“Kami sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong agar Polri kembali di bawah kendali Panglima TNI

atau agar lembaga kepolisian ini kembali berada di bawah Kementerian Dalam Negeri,” ujar Deddy dalam konferensi pers pada Kamis (28/11/2024).

 

 

By Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *