Menaker Sindir Banyak Pengusaha Fokus Kejar Profit, Buruh Dianggap Hanya Obyek

Dalam peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei 2025, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah, menyampaikan kritik tajam terhadap praktik dunia usaha yang dinilai terlalu berorientasi pada keuntungan. Dalam pidatonya di depan ribuan buruh dan serikat pekerja, Menaker menyindir sejumlah pengusaha yang menjadikan buruh hanya sebagai alat produksi tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan, keamanan kerja, dan keberlanjutan sosial.

Pernyataan tersebut sontak menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, baik dari komunitas pekerja, akademisi, hingga asosiasi pengusaha.

Menaker Sindir Banyak Pengusaha Fokus Kejar Profit, Buruh Dianggap Hanya Obyek
Menaker Sindir Banyak Pengusaha Fokus Kejar Profit, Buruh Dianggap Hanya Obyek

Pernyataan Menaker: Jangan Hanya Kejar Laba, Lupa Kemanusiaan

Ida Fauziyah dalam sambutannya menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan laba perusahaan memang penting. Namun, apabila keuntungan dikejar dengan cara menekan hak-hak buruh, meminimalisir upah, dan mengabaikan perlindungan sosial, maka perusahaan tersebut telah menyimpang dari semangat pembangunan berkelanjutan.

“Kita tidak bisa membangun bangsa yang adil apabila buruh hanya dijadikan obyek ekonomi. Mereka adalah subyek pembangunan. Tanpa buruh, roda ekonomi tidak akan berputar,” tegasnya.

Ia juga menyoroti kasus-kasus pelanggaran hak tenaga kerja yang masih terjadi, mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, sistem kerja kontrak berkepanjangan, hingga perusahaan yang menolak mengikutsertakan pekerjanya dalam jaminan sosial.


Reaksi Buruh: Bentuk Dukungan Nyata

Pernyataan tersebut mendapat sambutan positif dari banyak elemen serikat buruh. Mereka menilai Menaker telah menyuarakan hal yang selama ini menjadi kegelisahan utama para pekerja.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyebut bahwa sikap Menaker merupakan bentuk keberpihakan yang ditunggu-tunggu.

“Sudah saatnya negara hadir dengan keberanian. Buruh bukan mesin, tapi manusia yang punya keluarga, punya kebutuhan, dan pantas dihargai,” ujarnya.


Reaksi Pengusaha: Perlu Keseimbangan Narasi

Namun, di sisi lain, kalangan pengusaha menyatakan bahwa narasi semacam itu perlu diimbangi dengan pemahaman terhadap realitas bisnis. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Shinta Kamdani, menyatakan bahwa tidak semua pengusaha seperti itu. Banyak perusahaan, terutama UMKM, yang justru sedang berjuang agar tidak bangkrut.

“Kita sepakat bahwa kesejahteraan buruh penting. Tapi jangan dilupakan, keberlanjutan perusahaan juga penting agar bisa terus menggaji mereka,” kata Shinta.

Ia juga menekankan bahwa pemerintah seharusnya membantu dengan menciptakan regulasi yang tidak membebani, tetapi tetap menjamin hak-hak dasar pekerja.


Data dan Fakta: Ketimpangan Masih Terjadi

Berdasarkan laporan Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2024, terdapat sekitar 2,1 juta buruh yang bekerja dalam sistem kontrak tanpa kejelasan status. Selain itu, sekitar 38% buruh di sektor informal belum terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan.

Di sisi lain, terdapat pertumbuhan kekayaan yang cukup tinggi di kalangan korporasi besar. Dalam laporan keuangan kuartal akhir 2024, lebih dari 60% perusahaan publik mencatatkan pertumbuhan laba bersih yang signifikan. Kontras inilah yang mendorong diskursus tentang keadilan distributif antara pelaku usaha dan buruh.

Baca juga:Materi Pendidikan Siswa Bermasalah di Barak Militer: Baris-berbaris hingga Outbond


Tantangan dalam Penegakan UU Ketenagakerjaan

Indonesia sebenarnya sudah memiliki sejumlah regulasi yang cukup lengkap untuk melindungi hak-hak pekerja, seperti UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, dan peraturan turunannya. Namun, persoalan utama seringkali terletak pada implementasi dan pengawasan.

Banyak pengusaha yang masih menggunakan celah hukum untuk menghindari kewajiban normatif. Misalnya, sistem outsourcing yang diperluas hingga ke lini utama produksi atau penundaan pembayaran THR tanpa alasan yang kuat.

Menaker pun menyoroti perlunya sinergi antara pemerintah daerah, dinas ketenagakerjaan, dan lembaga pengawas ketenagakerjaan agar pelanggaran tidak terus terjadi secara masif.


Seruan untuk Perubahan Paradigma Bisnis

Dalam pidatonya, Ida juga mengajak seluruh pelaku usaha untuk mulai mengubah paradigma bisnis. Dunia usaha tidak hanya dinilai dari profitabilitas, tetapi juga dari keberpihakan terhadap pekerja, lingkungan, dan masyarakat.

“Mari kita kembangkan model bisnis yang lebih manusiawi, yang melihat buruh bukan hanya sebagai angka dalam laporan keuangan, tapi sebagai mitra dalam kemajuan,” ujarnya.

Ia juga mendorong perusahaan untuk mengadopsi prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk dalam hal pemberdayaan tenaga kerja.


Harapan Ke Depan: Kemitraan Buruh dan Pengusaha

Momentum Hari Buruh kali ini diharapkan bukan hanya menjadi perayaan simbolik, tetapi menjadi titik balik dalam membangun relasi industrial yang sehat di Indonesia. Diperlukan itikad baik dari kedua belah pihak: buruh yang produktif dan pengusaha yang adil.

Pemerintah diharapkan bisa hadir sebagai penengah dan fasilitator untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang saling menguntungkan.

Langkah-langkah seperti peningkatan pengawasan, insentif bagi perusahaan ramah buruh, serta kampanye kesadaran sosial menjadi bagian penting dari transformasi ketenagakerjaan nasional.


Penutup: Buruh adalah Fondasi Ekonomi

Peringatan Hari Buruh sejatinya bukan hanya seremonial, melainkan momen reflektif untuk mengevaluasi sejauh mana negara dan dunia usaha memberikan tempat yang layak bagi buruh. Kritik Menaker seharusnya menjadi pemicu perubahan, bukan sekadar polemik.

Buruh bukanlah obyek, melainkan subyek pembangunan. Tanpa kesejahteraan mereka, pertumbuhan ekonomi hanyalah angka tanpa makna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *