Pembelajaran Manajemen Krisis Riuh "Oplosan" PertaminaPembelajaran Manajemen Krisis Riuh "Oplosan" Pertamina

Pembelajaran Manajemen Krisis Riuh “Oplosan” Pertamina

Editor Kompas.com, dengan minat khusus di bidang pendidikan, parenting, serta dunia marketing komunikasi. Saat ini bertanggung jawab atas konten marketing KG Media. Sebagai penganut #enggarisme, ia menikmati hal-hal sederhana dalam hidup dan terbuka terhadap berbagai perspektif baru.

Pembelajaran Manajemen Krisis Riuh "Oplosan" Pertamina
Pembelajaran Manajemen Krisis Riuh “Oplosan” Pertamina

Kronologi Kasus “Oplosan” Pertamax

Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Pertamina akhirnya memberikan penjelasan terkait kontroversi “oplosan” Pertamax yang dalam beberapa minggu terakhir menimbulkan kegaduhan publik. Konsumen merasa tertipu karena membayar lebih mahal untuk Pertamax (RON 92) namun kualitasnya dirasakan seperti Pertalite (RON 90).

Isu ini muncul bersamaan dengan kekecewaan masyarakat yang masih belum pulih dari kelangkaan elpiji tiga kilogram. Kemarahan publik bertambah ketika Kejagung mengungkap dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023, dengan potensi kerugian negara hingga Rp193,7 triliun.

Perang Narasi: “Oplos” vs. “Blending”

Pasca temuan tersebut, istilah “oplos” dan “blending” menjadi pusat pertarungan narasi publik. Pertamina, melalui Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, menegaskan bahwa tidak ada kaitan antara kasus dugaan korupsi tersebut dengan kualitas Pertamax yang dipasarkan saat ini. Pertamina menyebut proses yang dilakukan adalah injeksi warna (dyes) untuk membedakan produk, dan aditif yang justru bertujuan meningkatkan performa Pertamax.

Pada saat yang sama, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memperkenalkan istilah “blending” sebagai kontra-narasi terhadap “oplosan” yang cenderung negatif. Menurutnya, blending merupakan proses legal, lumrah, dan sesuai aturan.

Respons Publik: Memadamkan Api atau Menambah Bensin?

Sayangnya, respons ini tak cukup efektif meredam gejolak publik. Penjelasan teknis tersebut justru memicu cibiran, meme, dan sentimen negatif dari warganet di media sosial. Istilah “blending” gagal mengubah persepsi negatif yang sudah terbentuk kuat di masyarakat.

Baca juga:Penjelasan Manajemen soal Kebakaran di Hotel Grand Hap

Masyarakat merasa dikhianati karena kualitas produk yang dibeli tidak sebanding dengan harga yang dibayar. Lebih dari sekadar isu teknis, ini menjadi persoalan kepercayaan publik yang hancur.

Pentingnya Reputasi dalam Manajemen Krisis

Krisis ini menegaskan pentingnya menyelamatkan reputasi sebagai langkah awal dalam manajemen krisis. Tanpa reputasi yang kuat, bahkan penjelasan paling teknis dan akurat sekalipun sulit diterima oleh masyarakat.

Reputasi yang baik merupakan fondasi kepercayaan publik. Dalam situasi ini, Pertamina harus memahami bahwa komunikasi empati dan transparan adalah kunci utama dalam mengembalikan kepercayaan yang hilang.

Fenomena “Pertamax Gan”

Menariknya, di tengah isu ini, frase “Pertamax Gan” kembali populer. Istilah ini awalnya populer di kalangan generasi milenial yang aktif di forum “Kaskus” untuk menunjukkan komentar pertama pada suatu postingan. Namun, kali ini istilah tersebut digunakan secara sarkastik untuk merespons kegaduhan isu BBM oplosan, menunjukkan betapa pentingnya memahami sentimen publik dalam krisis komunikasi.

Pelajaran dari Krisis Pertamina

Kasus ini menjadi studi kasus berharga dalam manajemen krisis komunikasi:

  • Kecepatan dan transparansi dalam memberikan klarifikasi sangat penting.
  • Empati terhadap kekecewaan publik jauh lebih penting daripada sekadar klarifikasi teknis.
  • Narasi yang tepat sangat menentukan arah opini publik.
  • Reputasi adalah fondasi utama untuk memenangkan kembali kepercayaan.

Krisis ini seharusnya mendorong Pertamina untuk introspeksi dan memperbaiki strategi komunikasi serta tata kelola perusahaan agar tidak terulang di masa depan. Ini adalah kesempatan bagi Pertamina untuk memperlihatkan komitmennya dalam transparansi dan akuntabilitas kepada publik.

By Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *