Salah Gusur di Tambun Bekasi Luka, Air Mata, dan Janji Pemulihan
Di atas tanah yang kini tak lagi berdinding, di antara puing-puing yang dulu menjadi tempat berlindung, seulas senyum akhirnya kembali merekah. Tangis yang sempat mengalir karena kehilangan kini bercampur dengan air mata haru di tengah Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Mursiti, seorang wanita yang rumahnya telah rata dengan tanah, tak kuasa menahan emosinya saat mendengar janji Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid.
“Pak, terima kasih, Pak,” lirihnya sembari menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Ia tidak sendiri. Yeldi dan Asmawati, yang berdiri di sampingnya, ikut merasakan hal yang sama. Rumah yang mereka bangun dengan penuh perjuangan kini tinggal kenangan. Namun, hari itu, secercah harapan kembali muncul, meski dalam bentuk yang sederhana.

Hari itu, Jumat (7/2/2025), di bawah langit Bekasi yang seakan ikut menyaksikan luka mereka, Nusron Wahid hadir di lokasi penggusuran. Lima rumah telah roboh, menjadi saksi bisu atas kesalahan yang tak seharusnya terjadi. Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II, dalam eksekusi pada 30 Januari 2025, telah menggusur rumah-rumah yang ternyata bukan bagian dari objek sengketa yang seharusnya dieksekusi. Kini, yang tersisa hanyalah lahan kosong, puing-puing reruntuhan, dan duka mendalam.
Kesalahan dalam penggusuran ini menjadi tamparan keras bagi sistem administrasi pertanahan di Indonesia. Warga kehilangan tempat tinggal mereka tanpa alasan yang jelas, tanpa ada peringatan yang cukup, dan tanpa solusi yang langsung diberikan. Banyak keluarga kini terlunta-lunta, mengungsi ke rumah sanak saudara atau bertahan di tenda darurat dengan kondisi yang jauh dari layak.
Janji Pemulihan dari Pemerintah
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang turun langsung ke lokasi mengakui adanya kekeliruan dalam eksekusi lahan. Dalam pertemuannya dengan warga terdampak, ia menyampaikan permintaan maaf dan menyatakan bahwa pemerintah akan bertanggung jawab atas kejadian ini. Sebagai bentuk empati, ia berjanji akan memberikan bantuan sebesar Rp 25 juta untuk setiap keluarga yang menjadi korban salah gusur.
Baca juga : Prabowo Beri Sinyal Reshuffle Kabinet, Warning” untuk Para Menteri
“Sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab kami terhadap ibu-ibu yang terdampak, kami akan memberikan bantuan masing-masing Rp 25 juta,” ujar Nusron Wahid. Pernyataan ini disambut dengan haru dan sedikit kelegaan oleh warga yang sebelumnya merasa tidak memiliki harapan.
Namun, bagi sebagian warga, janji bantuan ini masih belum cukup untuk menggantikan apa yang telah hilang. Mereka bukan hanya kehilangan rumah, tetapi juga kenyamanan, keamanan, dan stabilitas hidup mereka. Kini, mereka menghadapi ketidakpastian tentang di mana mereka akan tinggal dan bagaimana mereka akan memulai kembali dari nol.
Dampak Sosial dan Emosional Akibat Penggusuran
Penggusuran paksa tanpa persiapan yang matang sering kali membawa dampak besar bagi korban. Tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga gangguan psikologis, stres, dan trauma mendalam. Bagi anak-anak, kehilangan rumah mereka bisa berarti kehilangan tempat bermain, lingkungan yang aman, dan bahkan sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka sebelumnya.
Selain itu, banyak warga yang juga kehilangan sumber penghasilan. Beberapa dari mereka memiliki usaha kecil di rumahnya, seperti warung atau bengkel, yang kini harus ditutup akibat rumah mereka dihancurkan. Hal ini membuat mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal tetapi juga mata pencaharian, yang semakin memperburuk situasi ekonomi mereka.
Beberapa keluarga yang terdampak telah berusaha mencari tempat tinggal sementara dengan biaya sendiri. Namun, dengan kondisi ekonomi yang sulit, banyak dari mereka yang kini bergantung pada bantuan sanak saudara atau organisasi sosial untuk bisa bertahan.
Evaluasi dan Harapan untuk Masa Depan
Kasus salah gusur di Tambun Selatan ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan pihak berwenang. Kesalahan administrasi dalam eksekusi lahan dapat memberikan dampak yang besar dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem eksekusi tanah agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Beberapa solusi yang diharapkan masyarakat antara lain:
- Regulasi yang lebih ketat dalam proses eksekusi tanah
- Pendampingan hukum bagi warga yang terdampak
- Jaminan hukum terhadap hak kepemilikan tanah agar tidak ada lagi korban salah gusur
- Pengawasan yang lebih ketat dari pihak berwenang sebelum eksekusi dilakukan
Selain itu, masyarakat berharap adanya solusi jangka panjang dari pemerintah, bukan hanya sekadar bantuan finansial. Mereka membutuhkan kepastian hukum agar kejadian ini tidak terjadi lagi.
Warga Bangkit, Membangun Kembali Kehidupan
Meskipun kejadian ini memberikan luka mendalam, warga yang terdampak kini mencoba bangkit dari keterpurukan. Dengan bantuan yang dijanjikan pemerintah, mereka berharap bisa kembali membangun kehidupan mereka, meskipun dari awal. Mereka ingin memastikan bahwa tragedi ini tidak hanya menjadi kenangan pahit, tetapi juga menjadi awal dari perubahan yang lebih baik dalam sistem pertanahan dan eksekusi hukum di Indonesia.
Sementara menunggu realisasi janji pemerintah, banyak warga mulai mencari cara untuk membangun kembali rumah mereka, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Mereka tetap memiliki harapan dan semangat untuk terus bertahan dan memperjuangkan hak mereka.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan yang menyangkut lahan dan tempat tinggal masyarakat harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Sebab, satu kesalahan dalam keputusan bisa berdampak besar bagi kehidupan banyak orang.