Rupiah Dekati Level Terendah Krisis 1998, Pemerintah dan BI Masih Optimistis
Pada Selasa, 25 Maret 2025, nilai tukar rupiah sempat melemah mendekati level terendahnya, seperti yang terjadi pada masa krisis moneter 1998. Hal ini menjadi perhatian di tengah ketidakpastian ekonomi global dan ketegangan geopolitik yang semakin meningkat. Di pasar uang spot antarbank Jakarta, rupiah ditutup pada level Rp 16.611 per dollar AS, melemah sebesar 0,27 persen dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang tercatat pada level Rp 16.567.

Rupiah Dekati Level Terendah Krisis 1998, Pemerintah dan BI Masih Optimistis
Meskipun rupiah sempat mendekati level terendah dalam lima tahun terakhir, yaitu Rp 16.741 per dollar AS pada 2 April 2020, saat ini pergerakan nilai tukar ini masih menjadi sorotan. Bahkan, pelemahan rupiah kali ini mendekati level yang pernah tercatat pada masa krisis moneter 1998, yang menjadi salah satu peristiwa krisis ekonomi terbesar di Indonesia. Berdasarkan catatan Harian Kompas, pada 17 Juni 1998, kurs rupiah di pasar uang spot antarbank Jakarta ditutup pada level Rp 16.900 per dollar AS, dan pada 22 Januari 1998, kurs rupiah menyentuh angka Rp 17.000 per dollar AS.
Penyebab Pelemahan Rupiah: Faktor Eksternal dan Internal
Menurut pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, penyebab pelemahan rupiah berasal dari dua faktor utama: eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, ketegangan geopolitik yang masih berlangsung menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Assuaibi menyoroti ketegangan yang terus memanas antara Amerika Serikat (AS) dan Iran. Amerika Serikat yang telah mengancam Iran dengan ultimatum perang, meningkatkan ketidakpastian global yang mempengaruhi kepercayaan investor terhadap mata uang negara berkembang.
Selain itu, pada 2 April 2025, Amerika Serikat akan mulai menerapkan kebijakan baru yang berisiko memperburuk kondisi pasar, yaitu pengenaan biaya tarif impor tambahan. Kebijakan ini berpotensi memberatkan pasar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini membuat aliran modal asing keluar dari pasar Indonesia, yang memperburuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Dari sisi internal, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah juga mempengaruhi kondisi pasar. Salah satunya adalah pengumuman susunan pengurus Badan Pengelola Investasi (BPI Danantara) yang dinilai oleh pasar sebagai langkah yang dapat memberikan intervensi berlebihan terhadap pasar modal. Investor menginginkan pemerintah untuk bertindak sebagai pengawas dan bukan sebagai pihak yang melakukan intervensi langsung. Oleh karena itu, pasar modal yang sebelumnya tergerus, merespons negatif terhadap langkah tersebut. Hal ini menyebabkan investor menjadi lebih berhati-hati dalam menanamkan modal di pasar Indonesia.
Pemerintah Tetap Optimistis dengan Kondisi Ekonomi
Meski pelemahan rupiah terus terjadi dan dipengaruhi oleh faktor eksternal serta internal yang cukup besar, pemerintah
tetap optimistis dengan kondisi ekonomi Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto
menyampaikan bahwa meskipun nilai tukar rupiah mengalami penurunan, fundamental ekonomi Indonesia masih dalam kondisi yang kuat.
Airlangga menjelaskan, meskipun terdapat ketegangan yang terjadi di pasar uang dan pasar modal, ekonomi Indonesia memiliki daya tahan yang cukup kuat.
Hal ini dapat dilihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
IHSG yang sempat merosot ke level 5.900 pada Senin (25/3/2025), kini mulai kembali menguat setelah beberapa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) menghasilkan keputusan yang positif.
“Ya kan ini harian kan, nanti kita lihat. Kan fundamental ekonomi kuat, pasar juga sudah rebound. Kemarin ekspektasi
mengenai RUPS Mandiri dan BRI kan baik outcome-nya,” ujar Airlangga di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (26/3/2025).
Ia menekankan bahwa meskipun kondisi pasar global menghadapi ketidakpastian, Indonesia tetap memiliki
fundamental ekonomi yang solid, didukung oleh sektor-sektor utama yang terus menunjukkan pertumbuhan,
serta langkah-langkah kebijakan yang terus dijalankan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Tantangan Geopolitik dan Peran Pemerintah dalam Menjaga Stabilitas Ekonomi
Tantangan geopolitik global yang mempengaruhi pasar dunia menjadi salah satu faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Ketegangan yang terus berlanjut antara Amerika Serikat dan negara-negara lain, terutama Iran, telah memberikan dampak besar terhadap pasar keuangan global. Dalam hal ini, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga merasakan dampaknya, mengingat nilai tukar rupiah sangat dipengaruhi oleh keputusan investor global yang berisiko menarik modal keluar dari pasar Indonesia.
Namun demikian, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat, memitigasi inflasi, dan mengoptimalkan kebijakan fiskal untuk mendukung sektor-sektor yang masih membutuhkan stimulus ekonomi, seperti sektor UMKM. Dukungan ini akan terus diberikan untuk menjaga daya tahan ekonomi domestik dan mendukung pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Baca juga:Tarif Parkir Inap Stasiun Pasar Senen 2025
Penurunan Harga Komoditas dan Dampaknya pada Rupiah
Selain ketegangan geopolitik, penurunan harga komoditas dunia juga mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Indonesia sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas seperti minyak sawit, batu bara, dan gas alam, sangat dipengaruhi
oleh fluktuasi harga komoditas global. Ketika harga komoditas menurun, pendapatan negara dari ekspor juga
menurun, yang berpotensi meningkatkan tekanan pada cadangan devisa dan menurunkan nilai tukar rupiah.
Namun, strategi pemerintah dalam diversifikasi ekonomi dan penguatan sektor-sektor non-komoditas diharapkan
dapat mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga internasional.
Kesimpulan: Perspektif Pemerintah dalam Menghadapi Pelemahan Rupiah
Pelemahan rupiah yang mendekati level terendah, seperti yang terjadi pada 25 Maret 2025, tentunya memberikan tantangan bagi perekonomian Indonesia.
Namun, pemerintah tetap optimistis bahwa fundamental ekonomi Indonesia yang kuat dapat menjaga
stabilitas jangka panjang. Faktor eksternal seperti ketegangan geopolitik dan kebijakan tarif impor dari
Amerika Serikat memang memberikan dampak, namun pemerintah terus berupaya untuk menjaga stabilitas ekonomi
domestik dan mendorong pemulihan pasar modal serta sektor-sektor ekonomi utama.
Ke depan, Indonesia harus tetap fokus pada diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada sektor
yang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Dengan kebijakan yang tepat dan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta
dan masyarakat, Indonesia diharapkan dapat menghadapi berbagai tantangan ini dengan lebih baik, sekaligus memperkuat daya saing dan ketahanan ekonomi di pasar global.