Tolak Rp 150 Juta, Kuasa Hukum Eks Pemain Sirkus OCI: Itu Sangat Pelit

Konflik antara eks pemain sirkus OCI (Oriental Circus Indonesia) dengan pihak manajemen kembali mencuat ke

publik setelah kuasa hukum mantan pemain tersebut menolak tawaran ganti rugi sebesar Rp 150 juta. Penolakan itu bukan tanpa alasan.

Menurut pihak kuasa hukum, nominal tersebut dianggap tidak mencerminkan keadilan atas penderitaan, kerugian

dan pelanggaran hak-hak yang dialami oleh kliennya selama bertahun-tahun bekerja di bawah naungan OCI.

Masalah ini bermula dari laporan sejumlah mantan pemain sirkus yang mengaku mengalami eksploitasi kerja

pemotongan gaji secara sepihak, dan tidak diberi hak asasi dasar seperti jaminan sosial maupun kontrak kerja yang adil.

Setelah upaya mediasi menemui jalan buntu, kasus ini kemudian dibawa ke ranah hukum.

Tolak Rp 150 Juta, Kuasa Hukum Eks Pemain Sirkus OCI: Itu Sangat Pelit
Tolak Rp 150 Juta, Kuasa Hukum Eks Pemain Sirkus OCI: Itu Sangat Pelit

Tolak Rp 150 Juta, Kuasa Hukum Eks Pemain Sirkus OCI: Itu Sangat Pelit

Dalam keterangan pers terbaru, kuasa hukum eks pemain sirkus OCI, Ahmad Rifky Rachman, menyatakan bahwa

tawaran sebesar Rp 150 juta dari manajemen OCI adalah bentuk ketidakseriusan dan penghinaan terhadap martabat pekerja seni.

“Angka itu sangat pelit. Kami melihatnya sebagai upaya membungkam klien kami tanpa menyelesaikan masalah secara substansial.

Klien kami bekerja selama bertahun-tahun dengan risiko tinggi, tanpa asuransi, tanpa kepastian hak, dan kini hanya ditawari uang sebesar itu seolah semua luka bisa dibayar murah,” tegas Rifky.

Menurutnya, kliennya mengalami cedera fisik, gangguan mental, dan kesulitan ekonomi akibat perlakuan yang tidak manusiawi selama masa kerja di OCI.

Tawaran tersebut dinilai tidak mencakup ganti rugi moral, biaya pemulihan kesehatan, serta kerugian materiil dan immateriil lainnya.


Eks Pemain Sirkus: Hidup di Bawah Tekanan, Tak Ada Hari Libur

Salah satu eks pemain sirkus, yang identitasnya disamarkan demi keamanan, mengungkapkan kisah memilukan selama berada di bawah manajemen OCI.

Ia mengaku dipaksa tampil hingga dua kali sehari selama bertahun-tahun, bahkan dalam kondisi sakit.

“Kami tidur di tenda, makanan seadanya, dan tidak pernah tahu kapan akan diistirahatkan.

Kalau menolak tampil, gaji dipotong. Kalau cedera, kami harus tetap tampil karena tidak ada pengganti,” ujar eks pemain tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa banyak rekan-rekannya mengalami cedera tulang, kelelahan kronis, dan depresi akibat beban kerja yang berat.

Meski begitu, tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai, apalagi jaminan hari tua.


OCI Disebut Tak Punya Standar Perlindungan Pekerja

Kasus ini mendapat perhatian publik karena mengangkat isu penting tentang minimnya perlindungan hukum bagi para pekerja seni, khususnya di sektor hiburan seperti sirkus.

Berbeda dengan pekerja sektor formal yang umumnya mendapat jaminan kesehatan dan pensiun, para pemain sirkus di Indonesia masih banyak yang bekerja tanpa kontrak tetap dan tanpa akses jaminan sosial.

“Oriental Circus Indonesia adalah perusahaan besar yang sudah tampil puluhan tahun di berbagai kota.

Tapi anehnya, mereka belum memiliki sistem perlindungan karyawan yang layak,” ucap Rifky.

Ia menambahkan bahwa pihaknya tengah mengumpulkan bukti untuk memperkuat laporan ke Kementerian Ketenagakerjaan dan Komnas HAM, agar kasus ini tidak berhenti di pengadilan perdata saja, tapi juga menyentuh aspek pidana dan pelanggaran hak asasi manusia.


Manajemen OCI: Tawaran Kami Adil dan Sesuai Mediasi

Pihak manajemen Oriental Circus Indonesia melalui pernyataan resminya membantah tudingan eksploitasi dan pelanggaran hak tenaga kerja.

Mereka menyebut bahwa tawaran kompensasi sebesar Rp 150 juta sudah melalui proses perhitungan yang wajar dan ditawarkan dalam rangka mediasi damai.

“Pihak OCI telah beritikad baik menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.

Tawaran yang kami ajukan sudah mempertimbangkan masa kerja dan kontribusi yang bersangkutan.

Jika masih ada ketidakpuasan, maka mari kita tempuh jalur hukum secara terbuka,” ujar salah satu perwakilan hukum OCI.

Namun, pernyataan tersebut tak membuat kuasa hukum eks pemain surut.

Mereka menegaskan bahwa proses mediasi seharusnya tidak dimaknai sebagai cara untuk menghindar dari tanggung jawab hukum yang lebih besar.


Dukungan Publik dan Komunitas Pekerja Seni Mengalir

Seiring viralnya berita penolakan tawaran Rp 150 juta itu, sejumlah komunitas pekerja seni, aktivis buruh, dan lembaga sosial menyatakan dukungan terhadap perjuangan eks pemain sirkus.

Mereka menganggap kasus ini sebagai “puncak gunung es” dari berbagai praktik tak manusiawi yang masih terjadi di industri hiburan keliling.

Koalisi Pekerja Seni Bebas Indonesia (KPSBI) menyampaikan pernyataan solidaritas melalui media sosial dan menyebut bahwa kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi seluruh pelaku usaha di sektor seni dan pertunjukan untuk menjamin kesejahteraan pekerja.

“Pekerja seni juga manusia. Mereka berhak atas upah layak, jaminan kesehatan, dan perlakuan manusiawi.

Kami mendesak pemerintah menindak tegas setiap pelaku industri yang tidak taat aturan,” demikian bunyi pernyataan KPSBI.

Baca juga:Jadwal Idul Adha 2025 Versi Muhammadiyah, Pemerintah dan NU


Desakan untuk Evaluasi Industri Pertunjukan Keliling

Kasus ini memicu wacana perlunya evaluasi dan regulasi ketat terhadap operasional sirkus, pertunjukan keliling, dan bentuk hiburan tradisional lainnya yang melibatkan tenaga kerja profesional.

Banyak pihak menilai bahwa sektor ini selama ini terabaikan dalam pengawasan ketenagakerjaan.

Pemerintah diminta untuk mengkaji ulang izin usaha pertunjukan keliling serta mewajibkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendaftarkan pekerjanya sebagai tenaga kerja formal dengan hak-hak yang dilindungi negara.

Beberapa aktivis bahkan mendesak dibentuknya satuan tugas khusus di bawah Kementerian Tenaga Kerja yang bertugas memeriksa kondisi pekerja seni di lapangan dan mendorong transparansi kontrak kerja di industri hiburan rakyat.


Penutup: Bukan Soal Uang, Tapi Soal Martabat

Kasus penolakan Rp 150 juta oleh kuasa hukum eks pemain sirkus OCI membuka mata publik bahwa perjuangan

pekerja bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang penghormatan terhadap martabat manusia. Tawaran yang dianggap “pelit” itu menjadi simbol bahwa masih banyak perusahaan yang belum menjadikan pekerja sebagai aset yang harus dihargai secara adil.

Saat ini, proses hukum masih berlangsung, dan kedua belah pihak berpotensi bertemu kembali di pengadilan.

Namun, lebih dari sekadar persidangan, kasus ini diharapkan menjadi momentum reformasi terhadap sistem kerja di sektor hiburan nonformal.

Keadilan sejati bukan diukur dari angka kompensasi, tapi dari seberapa besar negara dan masyarakat

menghargai jerih payah para pekerja yang berada di balik panggung pertunjukan, demi menghibur publik dengan nyawa dan tenaga mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version